01 Mei 2009

Fiqih Mawaris


Pengertian

Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya.
Istilah fiqh mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, dan siapa yang tidak berhak menerima serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh mawaris disebut juga ilmu faraidh bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci didalam Al-Quran.
Secara terminologis, fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al Syarbiny dalam kitab mugni al muhtaz juz 3 mengatakan bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warian, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib ditrema dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak” Dalam pada itu Prof. Hasby al Sidiqy mendefinisikan fiqh mawaris adalah “ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima ahli waris dan cara-cara pembagiannya”.

B. Hukum Mempelajari Dan Mengajarkan Ilmu Mawaris.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah ini sejalan dengan perintah Rasulullah saw mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sebagaimana mempalajari dan mengajarkan Al-Quran, artinya pelajarilah oleh kalian Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. HR. Ahmad, An nasai, dan Daruqudhni. Hadist diatas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar didalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam Al Qur’an.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, memepelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pimpinan, terutama pimpinan agama.

C. Ruang Lingkup
Dalam konteks yang lebih umum warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.

D. Sumber-Sumber Hukum Waris
1. Al-Quran
                              •                       •                       •     
                                                                      •                             
         •           

11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.


2. Hadist
1. Riwayat imam al-bukhari dan imam muslim
قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَحِقُّوْ الفَرَائِضُ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه)
Nabi Muhammad Saw bersabda,“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR bukhari dan muslim).
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak brhak mewarisi orang muslim” ( HR. bukhari muslim )

1. Ijma’
Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat dalam alquran dan sunnah sesuai dengan ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat karena telah diterima secara sepakat maka tak ada alasan unuk menolaknya.

2. ijtihad
pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian dan pembagian warisan. Yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam menerapkan hukum ( tatbiqi ), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, misalnya : bagaimana apabila pembagian warisan terjadi kekurangan harta diselesaikan dengan cara ‘aul atau lain-lain.

E. Hukum Membagikan Harta Warisan Sesuai Ketentuan Syariat Islam.
Al-quran telah menerangkan hukum-hukum mawaris, keadaan-keadaan masing-masing waris dan yang bukan dengan cukup sempurna. Hanya sedikit saja dari hukum mawaris yang ditetapkan dengan sunah, ‘ijma dan ijtihad sahabat.
Sungguh tidak ada dalam syariat Islam hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-quran sebagaimana hukum mawaris ini. Hal ini dilakukan karena pusaka ini wasilah yang paling besar pengaruhnya dalam memiliki harta dan memindahkannya dari seseorang kepada yang lain.
Bagi umat Islam melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu, pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam adalah wajib. Kewajiban itu dapat pula dilihat dari sabda Rasulullah Saw sebagai berikut.
“Bagilah harta pusaka diantara ahli-ahli waris menurut kitabulah” ( HR. Muslim dan abu dawud )

Kesimpulan
Dalam istilah sehari-hari fiqh mawaris disebut dengan hukum warisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh mawaris. Bedanya fiqh mawaris menunjukan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, biasa mencakup hukum waris adat, atau hukum waris yang diatur dalam KUHP Perdata.
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektive tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dengan baik.
Untuk itu sangat diperlukan adanya orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya kepada masyarakat dan selanjutnya masyarakat dapat merealisasikannya didalam pembagian warisan.

Daftar Pustaka
1. Ash shiddiqi, teuku Muhammad hasbi. 1997. Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
2. Rofiq, Ahmad. 1995. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. rajaGrafindo Persada
3. Salman, otjie Dkk. 2001. Hukum Waris Islam. Bandung : Refika

Read more.....

16 April 2009

Mudharabah dan Musyrakahah ( Prinsip utama pengelolaan bank syariah )


Pendahuluan

Seperti yang kita kenal, bank dan nasabahnya adalah dua pihak yang tidak ingin dirugikan. Kedua belah pihak pada hakekatnya berniat mendapatkan keuntungan, dalam perbankan syariah, niat itu dapat kita temukan dalam konsep Mudharabah dan Musyrakahah. Sistem inilah yang kemudian menjadi karakteristik umum dan pijakan dasar dalam pengelolaan bank-bank islam. Dan inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ilmiah ini.
A. 1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata dharb yang secara etimologis bermakna memukul atau berjalan. Sementara secara konseptual, istilah Mudharabah berarti : akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal ( 100 % ) dan pihak kedua menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara Mudharabah ini kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam ikatan kontrak. Bila kemudian ada kerugian, maka itu ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pihak pengalola, maka si pengelolalah yang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam praktek Mudharabah, pemilik harta menyerahkan harta kepada pekerja untuk diperdagangkan, labanya dibagi antara mereka sesuai dengan perjanjian. Diseebut Mudharabah karena pelakunya berkelana kemana-mana mencari laba. Transaksi ini seudah dikenal sebelum Islam, contoh yang banyak diambil untuk kasus ini adalah kerja sama antara Nabi dengan khadijah dalam usaha dagang, dimana Nabi sebagai pekerja sedangkan Khadijah sebagai pemilik modal, beberapa waktu sebelum pernikahan mereka.
Al-Quran memang tidak secara eksplisit menyebutkan ihwal Mudharabah ini. Kendati demikian, beberapa ayat yang pesannya bisa dijadikan sandaran untuk menerapkan Mudharabah dapat dilihat dalam ayat sebagai berikut :

        ……

Artinya : “….Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…..”
QS. al-Muzzammil ( 73 : 20 )

Kata yadhribun ( di muka bumi ) di dalam ayat tersebut memiliki akar kata yang sama dengan Mudharabah yang berarti melakukan sebuah perjalanan usaha. Dalam ayat lain Allah juga berfirman :

               

Artinya : “ apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” QS. al-Jumu’ah ( 62 : 10 )
Berbeda dengan firman Allah, dalam hadist justru disebutkan dengan jelasnya. Antara lain seperti riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “ Abbas bin Abdul Muthalib jika memeberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dananya tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan beliau pun membolehkannya.” ( HR. Thabrani ).
Pada hadist lain sebagaimana diriwayatkan Shalih bin Shuhaib bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, Mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” ( HR. Ibnu Majah ).
Daripada itu, dari sisi ijma’ para ulama, ihwal Mudharabah ini disebutkan bahwa Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara Mudharabah.

2. Macam-macam dan manfaat Mudharabah
A. Macam macam Mudharabah
Pada umumnya Mudharabah terbagi pada dua jenis, yaitu : Mudharabah muthlaqah dan Mudharabah muqayyadah.
1. Mudharabah muthlaqah
Mudharabah jenis ini adalah bentuk kerjasama ( transaksi ) antara shahibul maal ( penyandang dana ) dengan mudharib ( pengelola ) yang cakupannya luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah jenis ini disebut juga dengan specifed Mudharabah. Prakteknya, si mudharib dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempatnya. Pembatasan ini acapkali mencerminkan kecenderungan si penyandang dana dalam memasuki dunia usaha.

B. Manfaat Mudharabah
Berikut ini beberapa manfaat yang bisa dipetik dari sistem Mudharabah suatu bank menerapkannya.
1. bank akan menikmati peningkatan hasil usaha pada saat keuntungan untuk nasabah meningkat. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami negatif spred ( perkembangan yang turun ).
2. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
3. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan, karena keuntungan yang kongkrit dan benar-benar terjadilah yang akan dibagikan.
Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bunga bank tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) satu jumlah bunga tetap berapapun kentungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

3. Perbedaan Antara Bunga Dan Bagi Hasil
Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi punya perbedaan yang mendasar sebagai akibat adanya investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktifitas yang tak memiliki resiko, karena adanya presentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.
Sesuai dengan definisi diatas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian bank Islam tak dapat hanya sekedar menyalurkan uang, bank Islam harus terus menerus berusaha meningkatkan investasi sehingga lebih menarik dan memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.

4. perbandingan bagi hasil bank syariah dan bunga bank konvensional
Bank syariah
Bapak Goni memiliki deposito nominal sebesar Rp. 10. 000.000. untuk jangka waktu 1 bulan. ( 1 januari-1 febuari 2007 ). Ia mendapatkan nisbah ( rasio profit sharing ) dari hasil hitungan = deposan 57 % : bank 43 %.
Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam satu bulan sebesar Rp. 30. 000.000, dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950. 000.000.
Berapakan keuntungan yang diperoleh bapak Goni ?
Jawab : Rp. [10. 000.000 : 950. 000.000] x Rp. 30. 000.000 x 57 %= Rp. 180.000
Bank Konvensional
Bapak Anton memiliki deposito nominal sebesar Rp. 10. 000.000 untuk jangka waktu 1 bulan. ( 1 januari-1 febuari 2007 ). Ia mendapatkan bunga 20 %.
Berapakah keuntunga n yang diperoleh bapak anton ?
Jawab : Rp. 10. 000.000 x [ 31 : 365 hari ] x 20 %= Rp. 169.863

5. Penerapan Mudharabah Dalam Bank Syariah
Jiwa dasar Mudharabah adalah prinsip bagi hasil yang dalam perbankan syariah disebut-sebut sebagai model utama pengelolaan yang membedakan antara bank konvensional dangan perbankan Islam.
Lazimnya, kontrak Mudharabah dalam bank syariah adalah sebagai berikut : nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak Mudharabah. Mudharib mendapat dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat memulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kembali kepada pembeli, denagn tujuan agar memperoleh keuntungan ( profit ).
Adapun bentuk-bentuk yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan pengumpulan dana adalah :
1. Tabungan Mudharabah. Yaitu simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
2. Deposito Mudharabah. Yaitu merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga ( perseorangan atau badan hukum ) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu ( jatuh tempo ) dengan imbalan bagi hasil.
3. Investasi Mudharabah Antar Bank ( IMA ). Yaitu sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar pasar uang dan bank syariah berdasarkan prinsip Mudharabah dimana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak ( pembeli dan penjual sertifikat IMA ) berdasarkan rasio profit sharing yang telah disepakati sebelumnya.

B. 1. Pengertian Musyarakah
Prinsip yang kedua ini adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi sumbangan dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Atau dalam bank bisa juga diartikan sebagai perjanjian dimana bank menyediakan sebagaian dari pembiayaan bagi usaha atau kegiataan tertentu, dan sebagian lain disediakan oleh mitra usaha.
Sistem ini dilandasi firman allah sebagai berikut :

•            
Artinya : “…..dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh….” QS. Shaad ( 38 : 24 )

Sementara dalam hadist , Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya.” ( HR. Abu Daud ) hadist ini menguatkan bahwa Allah mencintai hambanya yang terlibat perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Sedangkan dari sisi ijma’, Ibnu Qudamah berkata “ kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya…”

2. Penerapan Musyarakah Dalam Bank Syariah
Musyarakah biasanya diterapkan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut barsama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Selain itu, musyarakah juga bisa diterapkan dengan mengacu pada model ventura di lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu, bank melakukan divestasi ( menjual bagian sahamnya ), baik secara singkat maupun bertahap.

3. Manfaat Musyarakah
Beberapa manfaat yang bisa dipetik dari model musyarakah antara lain :
1. bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu pada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan mengalami negative spread.
3. pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow ( arus kas ) usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. prinsip bagi hasil musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.


Kesimpulan
Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki pengaruh besar dalam roda perekonomian masyarakat. Bank adalah sebuah lembaga bagi masyarakat untuk menyimpan uang dan juga dapat menjadi tempat peminjaman uang di saat masyarakat yang membutuhkan. Seiring dengan berjalannya waktu, bank telah menjadi sebuah kebutuhan hidup bagi manusia.
Islam sebagai agama yang sempurna memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat penggunaan instrument bunga dalam perbankan. Dalam Fiqh muamalah, permasalahan di atas dapat dicegah dan diatasi dengan adanya Bank-Bank berbasis sistem ekonomi Islam atau dikenal dengan ekonomi syariah yang tidak mengenal sistem bunga atau riba. Sebuah system yang berorientasi pada dunia dan akhirat.
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Demikianlah gambaran sekilas yang dapat penulis sampaikan ihwal Mudharabah dan musyarakah yang menjadi pijakan dasar bank-bank syariah dalam mengelola perbankan. Dalam hal ini, selain faktor sistem Mudharabah dan musyarakah tersebut, ada faktor lain yang ikut menyukseskan perbankan syariah, yaitu sunber daya manusia mumpuni yang aman perlu disiapkan dalam dunia perbankan syariah, sebab merekalah yang secara langsung berinteraksi dengan bank syariah.

Daftar Pustaka
1. Karim, Helmi. Fiqh Muamalah, 1997, Jakarta : Rajawali Pers
2. Sayyid Sabiq, Fikih sunnah jilid 13, 1993, Bandung : al-Ma’arif
3. Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam, 1996, Jakarta : PT. rajagrafindo Persada
4. Sutan, Remy, Perbankan Islam, 1999, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
5. Syakir Sula, Muhammad. Asuransi Syariah, 2004, Jakarta : Gema Insani Pers
6. Wirdyaningsih, dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, 2005, Jakarta : Kencana
7. Zuhri, Muh. Riba dalam al-quran dan masalah perbankan, 1996, Jakarta : PT. Grafindo

Read more.....

Adopsi Dalam Pandangan Islam


Adopsi Dalam Pandangan Islam

PENGERTIAN
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa inggris ‘ adoption ‘, yang berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan “ adoption of child “ yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa arab dengan istilah attabanni. Yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikannya anak.
Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli antara lain :
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan :
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”

Kemudian dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H dengan mengatakan :
“Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.”

Pendapat para pakar yang dikemukakan itu menggambarkan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri. Begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua di anak angkat itu. Kedua belah pihak ( orang tua angkat dan anak angkat ) mempunyai kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan anak kandung terhadap orang tuanya.
Pendapat lain dikemukakan Syekh Mahmud Syaltut dengan mengemukakan definisinya sebagai berikut dengan mengatakan :
“adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang di ketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya tanpa ia memandang perbedaan. meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.”

Definisi ini menggambarkan, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak kandung baik dari segi pewarisan maupun dari perwalian. hal ini dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjutnya masih dari beliau mengemukakan pendapat yang kedua yakni :
“adopsi adalah adanya seorang yang tidak memiliki anak, kemudian ia menjadikan anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah.”

Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak dijaman jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.

Tradisi Pengangkatan Anak ( Adopsi ) di Masyarakat
Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad.. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah ini dikenal dengan at-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah sendiri pernah mengangkat Zaid bin Harisah menjadi anaknya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya Harisah tetapi ditukar oleh Rasulullah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah di depan kaum quraisy. Nabi juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi. Oleh karena menganggapnya sebagai anak , maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zain bin Muhammad.
Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul turunlah surah al-Ahzab ayat 4-5 yang salah satunya intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukumnya seperti diatas (saling mewarisi). Firman Allah :

•               •             •    
                       •        

Artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. al-Ahzab ( 33 : 4-5 )

Masalah adopsi bukan suatu hal baru, tetapi diberbagai negara sejak jaman dahulu tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat jahiliyah secara turun temurun mengangkat anak orang lain sebagai anaknya.

Ayat ke 4-5 dalam surat al-Ahzab mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya bisa sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung.
tentang pengangkatan anak di Indonesia kebanyakan masyarakatnya cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya, misalnya ponakannya, ponakan istri atau suaminya, atau anak dari misannya dan sebagainya. tetapi setelah berdiri beberapa lembaga yang mengurusi anak yatim dan anak terlantar, maka masyarakat sudah mulai menyadari bahwa upaya pengangkatan anak tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tapi mereka melihatnya sebagai sesama manusia yang harus ditolong penghidupannya serta pendidikannya. Bahkan sekarang ini lebih berkembang lagi upaya-upaya untuk membantu anak-anak yang tidak mampu, dengan istilah program “ Anak Asuh “
Pengangkatan anak ( adopsi ) yang menyamakan statusnya dengan anak kandung masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. oleh karena itu, sebagai orang muslim dapat diperhatikan ketentuan agama yang mengatur tentang pengangkatan anak ( adopsi ).
Ada beberapa motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi tersebut antara lain:
1. Karena tidak mempunya anak.
2. Karena motivasi kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu.
3. Karena ia hanya mempunyai anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki atau sebaliknya.
4. Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan kepentingan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.


Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat dibedakan antara anak kandung dan dengan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian ( dalam masalah perkawainan ), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu antara bapak dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal lain halnya dengan anak kandung yang tidak demikian.

Hukumnya
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya ( Zulaehah ), bekas istri raja Abdul Azis ( bapak angkat Nabi Yusuf ).
Begitu juga halnya Rasulullah Saw diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan anak angkatnya. Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 37 :

           •         ••           •                   

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 37 )

Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1. Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua angkatnya.
2. Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali ( dalam perkawinan ).
3. Karena anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.

Dari segi kasih sayang, persamaan hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkatnya ( adopsi ) dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh.
Pengangkatan Zaid bin al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah dimansukh ( dibatalkan ) oleh ayat 37 dari surat al-Ahzab, dengan dibolehkannya Rasulullah mengawini bekas istri Zaid, berarti antara bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.

Faktor Yang Di Larang Dalam Adopsi
Kemudian dalam adopsi ini anak ini terdapat beberapa faktor yang di larang, diantaranya :
1. Menasabkan seseorang bukan kepada bapaknya sendiri. Ada beberapa hadits yang mengancam orang menasabkan dirinya bukan kepada bapaknya sendiri diantaranya :
2. Mengutip pendapat dari Abu Daud. “ Barangsiapa yang menasabkan kepada selain bapaknya atau selain maulanya, maka ia mendapatkan laknat dari Allah berturut-turut samapai hari kiamat.” H.R Abu Daud.
3. mengutip pendapat dari Imam Ahmad. “ Barangsiapa yang menasabkan kepada selain bapaknya, tidak akan mencium aroma surga, sesunggunya aroma surga itu telah didapatkan dari jarak lima ratus tahun perjalanan. Dan Barangsiapa yang menasabkan kepada selian bapaknya sedangkan dia tahu, maka surga pun diharamkan terhadap dirinya.” H.R. Ahmad.
4. Menggauli mereka seperti anak sendiri, sehingga ia seakan-akan mahram bagi anak perempuan kita dan sebaliknya. Mengadopsi tidak menjadikan ia itu halal untuk berduaan. Akan tetapi dia tetap asing, sehingga ia tidak boleh berdua, tidak boleh melihat sebagian aurat wanita di rumah itu, boleh dinikahi oleh anggota keluarga tersebut dan lain-lain.

Ulama fiqih hanya membolehkan adopsi dalam rangka saling tolong menolong dan atas dasar kemanusiaan, bukan adopsi yang dilarang Islam.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Adopsi ( pengangkatan Anak )
Dalam rapat nasional pada tahun 1984 MUI mengeluarkan fatwa tentang adopsi sebagaimana yang tercantum di bawah ini :

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG
ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)

Adopsi (Pengangkatan Anak)
Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 memfatwakan tentang adopsi sebagai berikut :
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari'ah Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.

Dalil-Dalil Tentang Adopsi
1. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4
•               •             •    

Artinya : “Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 4 )
2. Al-Quran surat al-Ahzab ayat 5
                       •        

Artinya : “Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).” QS. Al-Ahzab ( 33 : 5 )
4. Al-Quran surat al-Ahzab ayat 40
•           •       

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 40 )
4. Sabda Nabi Muhammad S.A.W.
Dari Abu Dzar Ra. Sesungguhnya ia dengar Rasul bersabda: "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim).
5. Sabda Nabi
Dari Sa'ad bin Abi Waqqas Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda. "Barang siapa yang mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayahnya padahal ia tahu bahwa bukan ayah kandungnya, haram baginya surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
6. Sabda Nabi
Dari Abdullah bin Umar bin Khathab Ra. Sesungguhnya ia berkata : "Kami tidak memanggil (Laid bin Hariaah) melainkan (kami panggil) Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat al-Qur'an : Panggilah mereka dengan nama ayah (kandung mereka, itulah yang lebih adil di siai Allah." (HR Bukhari).
7. Sabda Nabi
Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah mula Rasulullah SAW dan kami memanggilnya dengan : Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat : Panggilah mereka dengan nama ayah (kandung) mereka, mereka itulah yang lebih adil di sisi Allha, Lalu Nabi bersabda : Engkau adalah Zaid bin Harisah. (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana Islam telah membatalkan Zihar; demikian pula halnya dengan tabanni (mengangkat anak), Syariat Islam telah mengharamkannya, karena tabanni itu menisbahkan seorang anak kepada yang bukan bapaknya, dan itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Tuhan.




Kesimpulan

Adopsi berdasarkan pengertian pada halaman muka menjelaskan bahwa adopsi ialah pengangkatan atau pemungutan anak atau seseorang yang mengangkat anak yang di ketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya tanpa ia memandang perbedaan.walaupun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung. Bahkan Nabi pun pernah melakukannya dengan megadopsi Zaid bin Harisah menjadi anaknya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya Harisah tetapi ditukar oleh Rasulullah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Islam sendiri memandang adopsi dengan pandangan yang berbeda-beda, maka Islam perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat dibedakan antara anak kandung dan dengan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian ( dalam masalah perkawainan ), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu antara bapak dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal lain halnya dengan anak kandung yang tidak demikian.
Ulama fiqih hanya membolehkan adopsi dalam rangka saling tolong menolong dan atas dasar kemanusiaan, bukan adopsi yang dilarang Islam seperti yang dijalaskan pada makalah diatas.


Read more.....
 
dani's blog © 2008