01 Mei 2009

Fiqih Mawaris


Pengertian

Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya.
Istilah fiqh mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, dan siapa yang tidak berhak menerima serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh mawaris disebut juga ilmu faraidh bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci didalam Al-Quran.
Secara terminologis, fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al Syarbiny dalam kitab mugni al muhtaz juz 3 mengatakan bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warian, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib ditrema dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak” Dalam pada itu Prof. Hasby al Sidiqy mendefinisikan fiqh mawaris adalah “ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima ahli waris dan cara-cara pembagiannya”.

B. Hukum Mempelajari Dan Mengajarkan Ilmu Mawaris.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah ini sejalan dengan perintah Rasulullah saw mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sebagaimana mempalajari dan mengajarkan Al-Quran, artinya pelajarilah oleh kalian Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. HR. Ahmad, An nasai, dan Daruqudhni. Hadist diatas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar didalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam Al Qur’an.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, memepelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pimpinan, terutama pimpinan agama.

C. Ruang Lingkup
Dalam konteks yang lebih umum warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.

D. Sumber-Sumber Hukum Waris
1. Al-Quran
                              •                       •                       •     
                                                                      •                             
         •           

11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.


2. Hadist
1. Riwayat imam al-bukhari dan imam muslim
قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَحِقُّوْ الفَرَائِضُ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه)
Nabi Muhammad Saw bersabda,“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR bukhari dan muslim).
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak brhak mewarisi orang muslim” ( HR. bukhari muslim )

1. Ijma’
Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat dalam alquran dan sunnah sesuai dengan ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat karena telah diterima secara sepakat maka tak ada alasan unuk menolaknya.

2. ijtihad
pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian dan pembagian warisan. Yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam menerapkan hukum ( tatbiqi ), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, misalnya : bagaimana apabila pembagian warisan terjadi kekurangan harta diselesaikan dengan cara ‘aul atau lain-lain.

E. Hukum Membagikan Harta Warisan Sesuai Ketentuan Syariat Islam.
Al-quran telah menerangkan hukum-hukum mawaris, keadaan-keadaan masing-masing waris dan yang bukan dengan cukup sempurna. Hanya sedikit saja dari hukum mawaris yang ditetapkan dengan sunah, ‘ijma dan ijtihad sahabat.
Sungguh tidak ada dalam syariat Islam hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-quran sebagaimana hukum mawaris ini. Hal ini dilakukan karena pusaka ini wasilah yang paling besar pengaruhnya dalam memiliki harta dan memindahkannya dari seseorang kepada yang lain.
Bagi umat Islam melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu, pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam adalah wajib. Kewajiban itu dapat pula dilihat dari sabda Rasulullah Saw sebagai berikut.
“Bagilah harta pusaka diantara ahli-ahli waris menurut kitabulah” ( HR. Muslim dan abu dawud )

Kesimpulan
Dalam istilah sehari-hari fiqh mawaris disebut dengan hukum warisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh mawaris. Bedanya fiqh mawaris menunjukan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, biasa mencakup hukum waris adat, atau hukum waris yang diatur dalam KUHP Perdata.
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektive tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dengan baik.
Untuk itu sangat diperlukan adanya orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya kepada masyarakat dan selanjutnya masyarakat dapat merealisasikannya didalam pembagian warisan.

Daftar Pustaka
1. Ash shiddiqi, teuku Muhammad hasbi. 1997. Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
2. Rofiq, Ahmad. 1995. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. rajaGrafindo Persada
3. Salman, otjie Dkk. 2001. Hukum Waris Islam. Bandung : Refika

Read more.....

16 April 2009

Mudharabah dan Musyrakahah ( Prinsip utama pengelolaan bank syariah )


Pendahuluan

Seperti yang kita kenal, bank dan nasabahnya adalah dua pihak yang tidak ingin dirugikan. Kedua belah pihak pada hakekatnya berniat mendapatkan keuntungan, dalam perbankan syariah, niat itu dapat kita temukan dalam konsep Mudharabah dan Musyrakahah. Sistem inilah yang kemudian menjadi karakteristik umum dan pijakan dasar dalam pengelolaan bank-bank islam. Dan inilah yang akan penulis bahas dalam tulisan ilmiah ini.
A. 1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah diambil dari kata dharb yang secara etimologis bermakna memukul atau berjalan. Sementara secara konseptual, istilah Mudharabah berarti : akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal ( 100 % ) dan pihak kedua menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara Mudharabah ini kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam ikatan kontrak. Bila kemudian ada kerugian, maka itu ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pihak pengalola, maka si pengelolalah yang harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam praktek Mudharabah, pemilik harta menyerahkan harta kepada pekerja untuk diperdagangkan, labanya dibagi antara mereka sesuai dengan perjanjian. Diseebut Mudharabah karena pelakunya berkelana kemana-mana mencari laba. Transaksi ini seudah dikenal sebelum Islam, contoh yang banyak diambil untuk kasus ini adalah kerja sama antara Nabi dengan khadijah dalam usaha dagang, dimana Nabi sebagai pekerja sedangkan Khadijah sebagai pemilik modal, beberapa waktu sebelum pernikahan mereka.
Al-Quran memang tidak secara eksplisit menyebutkan ihwal Mudharabah ini. Kendati demikian, beberapa ayat yang pesannya bisa dijadikan sandaran untuk menerapkan Mudharabah dapat dilihat dalam ayat sebagai berikut :

        ……

Artinya : “….Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…..”
QS. al-Muzzammil ( 73 : 20 )

Kata yadhribun ( di muka bumi ) di dalam ayat tersebut memiliki akar kata yang sama dengan Mudharabah yang berarti melakukan sebuah perjalanan usaha. Dalam ayat lain Allah juga berfirman :

               

Artinya : “ apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” QS. al-Jumu’ah ( 62 : 10 )
Berbeda dengan firman Allah, dalam hadist justru disebutkan dengan jelasnya. Antara lain seperti riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “ Abbas bin Abdul Muthalib jika memeberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dananya tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan beliau pun membolehkannya.” ( HR. Thabrani ).
Pada hadist lain sebagaimana diriwayatkan Shalih bin Shuhaib bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, Mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” ( HR. Ibnu Majah ).
Daripada itu, dari sisi ijma’ para ulama, ihwal Mudharabah ini disebutkan bahwa Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara Mudharabah.

2. Macam-macam dan manfaat Mudharabah
A. Macam macam Mudharabah
Pada umumnya Mudharabah terbagi pada dua jenis, yaitu : Mudharabah muthlaqah dan Mudharabah muqayyadah.
1. Mudharabah muthlaqah
Mudharabah jenis ini adalah bentuk kerjasama ( transaksi ) antara shahibul maal ( penyandang dana ) dengan mudharib ( pengelola ) yang cakupannya luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah jenis ini disebut juga dengan specifed Mudharabah. Prakteknya, si mudharib dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempatnya. Pembatasan ini acapkali mencerminkan kecenderungan si penyandang dana dalam memasuki dunia usaha.

B. Manfaat Mudharabah
Berikut ini beberapa manfaat yang bisa dipetik dari sistem Mudharabah suatu bank menerapkannya.
1. bank akan menikmati peningkatan hasil usaha pada saat keuntungan untuk nasabah meningkat. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank hingga bank tidak akan pernah mengalami negatif spred ( perkembangan yang turun ).
2. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
3. Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan, karena keuntungan yang kongkrit dan benar-benar terjadilah yang akan dibagikan.
Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bunga bank tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) satu jumlah bunga tetap berapapun kentungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

3. Perbedaan Antara Bunga Dan Bagi Hasil
Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi punya perbedaan yang mendasar sebagai akibat adanya investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung resiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktifitas yang tak memiliki resiko, karena adanya presentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.
Sesuai dengan definisi diatas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian bank Islam tak dapat hanya sekedar menyalurkan uang, bank Islam harus terus menerus berusaha meningkatkan investasi sehingga lebih menarik dan memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.

4. perbandingan bagi hasil bank syariah dan bunga bank konvensional
Bank syariah
Bapak Goni memiliki deposito nominal sebesar Rp. 10. 000.000. untuk jangka waktu 1 bulan. ( 1 januari-1 febuari 2007 ). Ia mendapatkan nisbah ( rasio profit sharing ) dari hasil hitungan = deposan 57 % : bank 43 %.
Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam satu bulan sebesar Rp. 30. 000.000, dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950. 000.000.
Berapakan keuntungan yang diperoleh bapak Goni ?
Jawab : Rp. [10. 000.000 : 950. 000.000] x Rp. 30. 000.000 x 57 %= Rp. 180.000
Bank Konvensional
Bapak Anton memiliki deposito nominal sebesar Rp. 10. 000.000 untuk jangka waktu 1 bulan. ( 1 januari-1 febuari 2007 ). Ia mendapatkan bunga 20 %.
Berapakah keuntunga n yang diperoleh bapak anton ?
Jawab : Rp. 10. 000.000 x [ 31 : 365 hari ] x 20 %= Rp. 169.863

5. Penerapan Mudharabah Dalam Bank Syariah
Jiwa dasar Mudharabah adalah prinsip bagi hasil yang dalam perbankan syariah disebut-sebut sebagai model utama pengelolaan yang membedakan antara bank konvensional dangan perbankan Islam.
Lazimnya, kontrak Mudharabah dalam bank syariah adalah sebagai berikut : nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak Mudharabah. Mudharib mendapat dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat memulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kembali kepada pembeli, denagn tujuan agar memperoleh keuntungan ( profit ).
Adapun bentuk-bentuk yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan pengumpulan dana adalah :
1. Tabungan Mudharabah. Yaitu simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
2. Deposito Mudharabah. Yaitu merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga ( perseorangan atau badan hukum ) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu ( jatuh tempo ) dengan imbalan bagi hasil.
3. Investasi Mudharabah Antar Bank ( IMA ). Yaitu sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar pasar uang dan bank syariah berdasarkan prinsip Mudharabah dimana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak ( pembeli dan penjual sertifikat IMA ) berdasarkan rasio profit sharing yang telah disepakati sebelumnya.

B. 1. Pengertian Musyarakah
Prinsip yang kedua ini adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi sumbangan dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Atau dalam bank bisa juga diartikan sebagai perjanjian dimana bank menyediakan sebagaian dari pembiayaan bagi usaha atau kegiataan tertentu, dan sebagian lain disediakan oleh mitra usaha.
Sistem ini dilandasi firman allah sebagai berikut :

•            
Artinya : “…..dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh….” QS. Shaad ( 38 : 24 )

Sementara dalam hadist , Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati yang lainnya.” ( HR. Abu Daud ) hadist ini menguatkan bahwa Allah mencintai hambanya yang terlibat perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan.
Sedangkan dari sisi ijma’, Ibnu Qudamah berkata “ kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya…”

2. Penerapan Musyarakah Dalam Bank Syariah
Musyarakah biasanya diterapkan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut barsama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Selain itu, musyarakah juga bisa diterapkan dengan mengacu pada model ventura di lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu, bank melakukan divestasi ( menjual bagian sahamnya ), baik secara singkat maupun bertahap.

3. Manfaat Musyarakah
Beberapa manfaat yang bisa dipetik dari model musyarakah antara lain :
1. bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu pada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan mengalami negative spread.
3. pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow ( arus kas ) usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. prinsip bagi hasil musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan ( nasabah ) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.


Kesimpulan
Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki pengaruh besar dalam roda perekonomian masyarakat. Bank adalah sebuah lembaga bagi masyarakat untuk menyimpan uang dan juga dapat menjadi tempat peminjaman uang di saat masyarakat yang membutuhkan. Seiring dengan berjalannya waktu, bank telah menjadi sebuah kebutuhan hidup bagi manusia.
Islam sebagai agama yang sempurna memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang timbul akibat penggunaan instrument bunga dalam perbankan. Dalam Fiqh muamalah, permasalahan di atas dapat dicegah dan diatasi dengan adanya Bank-Bank berbasis sistem ekonomi Islam atau dikenal dengan ekonomi syariah yang tidak mengenal sistem bunga atau riba. Sebuah system yang berorientasi pada dunia dan akhirat.
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Demikianlah gambaran sekilas yang dapat penulis sampaikan ihwal Mudharabah dan musyarakah yang menjadi pijakan dasar bank-bank syariah dalam mengelola perbankan. Dalam hal ini, selain faktor sistem Mudharabah dan musyarakah tersebut, ada faktor lain yang ikut menyukseskan perbankan syariah, yaitu sunber daya manusia mumpuni yang aman perlu disiapkan dalam dunia perbankan syariah, sebab merekalah yang secara langsung berinteraksi dengan bank syariah.

Daftar Pustaka
1. Karim, Helmi. Fiqh Muamalah, 1997, Jakarta : Rajawali Pers
2. Sayyid Sabiq, Fikih sunnah jilid 13, 1993, Bandung : al-Ma’arif
3. Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam, 1996, Jakarta : PT. rajagrafindo Persada
4. Sutan, Remy, Perbankan Islam, 1999, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
5. Syakir Sula, Muhammad. Asuransi Syariah, 2004, Jakarta : Gema Insani Pers
6. Wirdyaningsih, dkk, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, 2005, Jakarta : Kencana
7. Zuhri, Muh. Riba dalam al-quran dan masalah perbankan, 1996, Jakarta : PT. Grafindo

Read more.....

Adopsi Dalam Pandangan Islam


Adopsi Dalam Pandangan Islam

PENGERTIAN
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa inggris ‘ adoption ‘, yang berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan “ adoption of child “ yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa arab dengan istilah attabanni. Yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikannya anak.
Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli antara lain :
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan :
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”

Kemudian dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H dengan mengatakan :
“Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.”

Pendapat para pakar yang dikemukakan itu menggambarkan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri. Begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua di anak angkat itu. Kedua belah pihak ( orang tua angkat dan anak angkat ) mempunyai kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan anak kandung terhadap orang tuanya.
Pendapat lain dikemukakan Syekh Mahmud Syaltut dengan mengemukakan definisinya sebagai berikut dengan mengatakan :
“adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang di ketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya tanpa ia memandang perbedaan. meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.”

Definisi ini menggambarkan, bahwa anak angkat itu sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tidak dapat disamakan dengan status anak kandung baik dari segi pewarisan maupun dari perwalian. hal ini dapat disamakan dengan anak asuh menurut istilah sekarang ini.
Selanjutnya masih dari beliau mengemukakan pendapat yang kedua yakni :
“adopsi adalah adanya seorang yang tidak memiliki anak, kemudian ia menjadikan anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah.”

Definisi ini menggambarkan pengangkatan anak tersebut sama dengan pengangkatan anak dijaman jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawini.

Tradisi Pengangkatan Anak ( Adopsi ) di Masyarakat
Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad.. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah ini dikenal dengan at-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah sendiri pernah mengangkat Zaid bin Harisah menjadi anaknya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya Harisah tetapi ditukar oleh Rasulullah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah di depan kaum quraisy. Nabi juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi. Oleh karena menganggapnya sebagai anak , maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zain bin Muhammad.
Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul turunlah surah al-Ahzab ayat 4-5 yang salah satunya intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukumnya seperti diatas (saling mewarisi). Firman Allah :

•               •             •    
                       •        

Artinya : “ Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). 5. Panggilah mereka) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. al-Ahzab ( 33 : 4-5 )

Masalah adopsi bukan suatu hal baru, tetapi diberbagai negara sejak jaman dahulu tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat. Tradisi masyarakat jahiliyah secara turun temurun mengangkat anak orang lain sebagai anaknya.

Ayat ke 4-5 dalam surat al-Ahzab mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya bisa sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung.
tentang pengangkatan anak di Indonesia kebanyakan masyarakatnya cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya, misalnya ponakannya, ponakan istri atau suaminya, atau anak dari misannya dan sebagainya. tetapi setelah berdiri beberapa lembaga yang mengurusi anak yatim dan anak terlantar, maka masyarakat sudah mulai menyadari bahwa upaya pengangkatan anak tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tapi mereka melihatnya sebagai sesama manusia yang harus ditolong penghidupannya serta pendidikannya. Bahkan sekarang ini lebih berkembang lagi upaya-upaya untuk membantu anak-anak yang tidak mampu, dengan istilah program “ Anak Asuh “
Pengangkatan anak ( adopsi ) yang menyamakan statusnya dengan anak kandung masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. oleh karena itu, sebagai orang muslim dapat diperhatikan ketentuan agama yang mengatur tentang pengangkatan anak ( adopsi ).
Ada beberapa motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat. Motivasi tersebut antara lain:
1. Karena tidak mempunya anak.
2. Karena motivasi kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu.
3. Karena ia hanya mempunyai anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki atau sebaliknya.
4. Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan kepentingan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.


Pengangkatan anak dengan motivasi yang berbeda-beda, maka Islam perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat dibedakan antara anak kandung dan dengan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian ( dalam masalah perkawainan ), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu antara bapak dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal lain halnya dengan anak kandung yang tidak demikian.

Hukumnya
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya ( Zulaehah ), bekas istri raja Abdul Azis ( bapak angkat Nabi Yusuf ).
Begitu juga halnya Rasulullah Saw diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dengan Zaid, tak ada hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang sebagai bapak angkat dengan anak angkatnya. Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 37 :

           •         ••           •                   

Artinya : “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 37 )

Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak.
Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1. Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua angkatnya.
2. Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali ( dalam perkawinan ).
3. Karena anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.

Dari segi kasih sayang, persamaan hidup, persamaan biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkatnya ( adopsi ) dibolehkan dalam Islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh.
Pengangkatan Zaid bin al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah dimansukh ( dibatalkan ) oleh ayat 37 dari surat al-Ahzab, dengan dibolehkannya Rasulullah mengawini bekas istri Zaid, berarti antara bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.

Faktor Yang Di Larang Dalam Adopsi
Kemudian dalam adopsi ini anak ini terdapat beberapa faktor yang di larang, diantaranya :
1. Menasabkan seseorang bukan kepada bapaknya sendiri. Ada beberapa hadits yang mengancam orang menasabkan dirinya bukan kepada bapaknya sendiri diantaranya :
2. Mengutip pendapat dari Abu Daud. “ Barangsiapa yang menasabkan kepada selain bapaknya atau selain maulanya, maka ia mendapatkan laknat dari Allah berturut-turut samapai hari kiamat.” H.R Abu Daud.
3. mengutip pendapat dari Imam Ahmad. “ Barangsiapa yang menasabkan kepada selain bapaknya, tidak akan mencium aroma surga, sesunggunya aroma surga itu telah didapatkan dari jarak lima ratus tahun perjalanan. Dan Barangsiapa yang menasabkan kepada selian bapaknya sedangkan dia tahu, maka surga pun diharamkan terhadap dirinya.” H.R. Ahmad.
4. Menggauli mereka seperti anak sendiri, sehingga ia seakan-akan mahram bagi anak perempuan kita dan sebaliknya. Mengadopsi tidak menjadikan ia itu halal untuk berduaan. Akan tetapi dia tetap asing, sehingga ia tidak boleh berdua, tidak boleh melihat sebagian aurat wanita di rumah itu, boleh dinikahi oleh anggota keluarga tersebut dan lain-lain.

Ulama fiqih hanya membolehkan adopsi dalam rangka saling tolong menolong dan atas dasar kemanusiaan, bukan adopsi yang dilarang Islam.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Adopsi ( pengangkatan Anak )
Dalam rapat nasional pada tahun 1984 MUI mengeluarkan fatwa tentang adopsi sebagaimana yang tercantum di bawah ini :

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
TENTANG
ADOPSI (PENGANGKATAN ANAK)

Adopsi (Pengangkatan Anak)
Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir 1405 H./Maret 1984 memfatwakan tentang adopsi sebagai berikut :
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
2. Mengangkat (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari'ah Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh yang dilanjutkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.

Dalil-Dalil Tentang Adopsi
1. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4
•               •             •    

Artinya : “Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 4 )
2. Al-Quran surat al-Ahzab ayat 5
                       •        

Artinya : “Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).” QS. Al-Ahzab ( 33 : 5 )
4. Al-Quran surat al-Ahzab ayat 40
•           •       

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutub nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.” QS. Al-Ahzab ( 33 : 40 )
4. Sabda Nabi Muhammad S.A.W.
Dari Abu Dzar Ra. Sesungguhnya ia dengar Rasul bersabda: "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim).
5. Sabda Nabi
Dari Sa'ad bin Abi Waqqas Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda. "Barang siapa yang mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayahnya padahal ia tahu bahwa bukan ayah kandungnya, haram baginya surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
6. Sabda Nabi
Dari Abdullah bin Umar bin Khathab Ra. Sesungguhnya ia berkata : "Kami tidak memanggil (Laid bin Hariaah) melainkan (kami panggil) Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat al-Qur'an : Panggilah mereka dengan nama ayah (kandung mereka, itulah yang lebih adil di siai Allah." (HR Bukhari).
7. Sabda Nabi
Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah mula Rasulullah SAW dan kami memanggilnya dengan : Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat : Panggilah mereka dengan nama ayah (kandung) mereka, mereka itulah yang lebih adil di sisi Allha, Lalu Nabi bersabda : Engkau adalah Zaid bin Harisah. (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana Islam telah membatalkan Zihar; demikian pula halnya dengan tabanni (mengangkat anak), Syariat Islam telah mengharamkannya, karena tabanni itu menisbahkan seorang anak kepada yang bukan bapaknya, dan itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Tuhan.




Kesimpulan

Adopsi berdasarkan pengertian pada halaman muka menjelaskan bahwa adopsi ialah pengangkatan atau pemungutan anak atau seseorang yang mengangkat anak yang di ketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya tanpa ia memandang perbedaan.walaupun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung. Bahkan Nabi pun pernah melakukannya dengan megadopsi Zaid bin Harisah menjadi anaknya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya Harisah tetapi ditukar oleh Rasulullah dengan nama Zaid bin Muhammad.
Islam sendiri memandang adopsi dengan pandangan yang berbeda-beda, maka Islam perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat dibedakan antara anak kandung dan dengan anak angkat, terutama hak-hak yang berkaitan dengan pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian ( dalam masalah perkawainan ), karena hal ini terkait dengan masalah ibadah antara lain misalnya hubungan mahram, dapat membatalkan wudhu antara bapak dengan anak angkatnya yang perempuan, padahal lain halnya dengan anak kandung yang tidak demikian.
Ulama fiqih hanya membolehkan adopsi dalam rangka saling tolong menolong dan atas dasar kemanusiaan, bukan adopsi yang dilarang Islam seperti yang dijalaskan pada makalah diatas.


Read more.....

Tafsir Muqaran ( metode Komparasi )


Tafsir Muqaran ( metode Komparasi )

PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun yang bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat yang lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa menyingkap ibrah yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah menganggap beberapa ayat cenderung membosankan karena memiliki redaksi yang tidak jauh berbeda.
Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa ayat al-Quran hanyalah merupakan sebuah tikrar ( pengulangan redaksi ). Padahal, tidak jarang terdapat hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal itu akan mengantarkan orang yang tekun dalam menganalisisnya pada sebuah formulasi pemahaman dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penafsiran dengan metode yang bisa mengidentifikasi serta mengakomodasi ayat-ayat yang dipandang mirip untuk kemudian dianalisis dan ditemukan hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di dalamnya juga akan mewarnai dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa dipahami bahwa setiap ayat memiliki kelebihannya masing-masing.
Pada tataran itulah, kehadiran metode penafsiran ayat-ayat yang beredaksi sama ataupun mirip secara muqaran, dianggap penting. Dalam kajian sederhana ini, pembahasan tafsir muqaran diorientasikan dan difokuskan pada komparasi antar ayat. Komparasi antar ayat berarti membandingkan beberapa ayat yang dianggap memiliki kecenderungan persamaan redaksi maupun kasus atau sebaliknya.

A. Definisi dan Pengertian Metode Tafsir Muqaran

Metode Tafsir muqaran adalah “ membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama ”. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan sebagian yang lainnya, yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Al Kumi, menyatakaan bahwa tafsir muqaran antar ayat merupakan upaya membandingkan ayat-ayat Al-Quran antara sebagian dengan sebagian lainnya. Selanjutnya, beliau mengemukakan pendapat al Farmawi yang mendefinisikan tafsir muqaran antar ayat dengan upaya membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara masalah yang sama.
Nasruddin Baidan menyatakan bahwa para ahli ilmu tafsir tidak berbeda pendapat dalam mendefinisikan tafsir muqaran. Dari berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode muqaran antar ayat ialah membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
Syahrin Harahap menjelaskan bahwa tafsir muqaran antar ayat adalah suatu metode mencari kandungan al-Quran dengan cara membandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, yaitu ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah/kasus yang sama atau yang diduga sama.
Ke empat definisi di atas cukup jelas kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa tafsir muqaran antar ayat merupakan pola penafsiran al-Quran untuk ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi maupun kasus atau redaksinya berbeda, namun kasusnya sama begitu juga sebaliknya.


Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri.

B. Ruang Lingkup Tafsir Muqaran

Secara global, tafsir muqaran antar ayat dapat diaplikasikan pada ayat-ayat al-Quran yang memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi, namun ada yang berkurang ada juga yang berlebih. Kedua adalah ayat-ayat yang memiliki perbedaan ungkapan, tetapi tetap dalam satu maksud. kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyat) saja, melainkan mencakup perbedaan kandungan makna masing-masing ayat yang diperbandingkan. Disamping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut, termasuk juga sebab turunnya ayat serta konteks sosio-kultural masyarakat pada waktu itu.


C. Contoh aplikasi dalam ayat al-Quran
1. Ayat-ayat membahas kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda
Seperti misalnya dalam firman Allah dalam surat Al-An'am ayat 151 dengan surat Al-Isra' ayat 31.
Surat Al-An'am ayat 151 :

                            •         •            


Artinya : Katakanlah “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). QS. al-An’am ( 6: 151 )


Surat Al-Isra' ayat 31

          •     

Artinya : “ dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” QS. al-Isra ( 17 : 31 )


Dua ayat tersebut membahas kasus yang sama, yakni larangan membunuh anak-anak karena alasan kemiskinan, namun redaksinya terlihat berbeda. Perbedaan itu bisa dilihat dari segi mukhatab (objek) nya. mukhatab pada ayat pertama adalah orang miskin, sehingga redaksi yang digunakan adalah
(من إملاق ) yang berarti karena alasan kemiskinan. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu miskin”. Sementara itu, mukhatab pada ayat kedua adalah orang kaya sehingga redaksi yang digunakan adalah
( خشية إملاق ) yang berarti karena takut menjadi miskin. Tegasnya, “janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena kamu takut menjadi miskin”. Selanjutnya, pada ayat pertama dhamir mukhatab didahulukan dengan maksud untuk menghilangkan kekhawatiran si miskin bahwa ia tidak mampu memberikan nafkan kepada anaknya, sebab Allah akan memberikan rizki kepadanya. Jadi, kedua ayat itu menumbuhkan optimisme kepada si kaya maupun si miskin.


2. Ayat-ayat beredaksi mirip yang membahas kasus yang berbeda. Seperti antara surat al-Anfal ayat 10 dengan surat ali-Imran ayat 126.

Surat al-Anfal ayat 10 :
     •     •          

Artinya : “Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. al-Anfal ( 8 : 10 )

Surat ali-Imran ayat 126.

      •     •       

Artinya : “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
QS. ali-Imran ( 3 : 126 )

Dua ayat tersebut redaksinya terlihat mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin dalam bertempur melawan musuh.
Variasi yang dapat dilihat adalah:
1. Surat Al Anfal mendahulukan kata   ( bihi ) dari pada 
( qulubukum )
2. surat Al Anfal menggunakan kata  ( inna ), sedangkan Al Imron tidak
3. Surat Ali Imran menggunakan kata  ( lakum ), sedangkan Al Anfal tidak
4. Surat Al Anfal berbicara mengenai perang Badar, sedangkan Ali Imron berbicara tentang perang uhud
Variasi keterdahuluan bihi dan penambahan inna dalam ayat pertama dimaksudkan sebagai penekanan atau penegasan kandungan utama ayat tersbut saat berlangsungnya perang badar. Pada ayat kedua, hal tersebut diduga tidak lagi diperlukan.
D. Kelebihan dan Kekurangan

1. Kelebihan
Diantara kelebihan metode ini secara umum ialah sebagai berikut :
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode yang lain. Didalam penafsiran itu, terlihat bahwa satu ayat al-Quran dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufasirnya. Dengan demikian, terasa bahwa al-Quran itu tidak sempit, melainkan amat luas dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat. Semua pendapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang benar.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi. Dengan demikian, hal itu dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu madzhab atau aliran tertentu, sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir muqaranah, terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat. Hal itu dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan berbagai pilihan.
c. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran seamcam ini cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran al-Quran bukan bagi para pemula.
d. Dengan menggunakan metode komparatif, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain. Dengan pola serupa ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat.

2. Kekurangan
Diantara kekurangan metode ini secara umum ialah sebagai berikut:
a. Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal itu disebabkan pembahasan yang dikemukakan didalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
b. metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah. Dengan demikian, jika menginginkan pemecahan masalah, yang tepat adalah menggunakan metode tematik,.
c. metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tidak perlu timbul apabila mufasirnya kreatif. Artinya, dia tidak hanya sekedar mengemukakan penafsiran-penafsiran orang lain, tetapi harus mengaitkannya dengan kondisi yang dihadapinya. Degnan demikian dia akan menghasilkan sintesis-sintesis baru yang belum ada sebelumnya.

E. Urgensi dan Manfaat

Seorang mufasir dapat menggali hikmah yang terkandung di balik variasi redaksi ayat, atau dengan kata lain yang lebih tepat, menguras kandungan pengertian ayat-yang barangkali terlewatkan metode lain-sehingga manusia semakin sadar bahwa komposisi ayat itu tidak ada yang dibuat secara sembarang, apalagi untuk mengatakan bertentangan. Pada sisi lain, dapat juga mendemonstrasikan kecanggihan al-Quran dari segi redaksional.
Fenomena ini mendorong para mufassir untuk mengadakan penelitian dan penghayatan terhadap ayat-ayat yang secara redaksional memiliki kesamaan. Dengan begitu, akan tampak jelas kontekstualisasi kandungan ayat tersebut karena hal ini akan efektif menepis anggapan bahwa Tuhan sudah “kehabisan” kosakata dalam melengkapi ajaran qurani atau mungkin beberapa ayat dianggap cenderung membosankan karena terkesan diulang-ulang. Tak satupun ayat yang tersia-siakan karena satu persatunya mengandung hikmah yang perlu dibedah dan ditelisik spesifikasinya. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan kiranya dinyatakan bahwa mendekati al-Quran dari dimensi model tafsir seperti ini akan menambah keteguhan imam seseorang serta akan menguatkan kreativitas bertafakkur.

KESIMPULAN

Dari penjelasan, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Metode tafsir muqaran antar ayat merupakan salah satu cara menafsirkan al-Quran yang spesifikasinya terfokus pada upaya menganalisis ayat-ayat yang beredaksi mirip atau sama, baik dalam satu kasus atau berbeda
2. Langkah yang perlu ditempuh oleh mufassir dengan metode semacam ini sekurang-kurangnya berupa: pertama, identifikasi dan inventarisasi ayat-ayat yang beredaksi mirip atau sama; kedua, komparasi ayat-ayat tersebut untuk menemukan persamaan dan perbedaannya; ketiga, analisis perbedaan yang terkandung di dalamnya untuk kemudian melakukan penafsiran.


DAFTAR PUSTAKA

I. Baidan, Nasruddin , Metode Penafsiran Al-Quran, 2002, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
II. Salim, Mula, Metodologi Ilmu Tafsir, 2005, Sleman : Teras
III. Shihab, Quraisy, Membumikan al-Quran, 1999, Bandung : Mizan
IV. Winarno, Ahmad, http://elhasyimieahmad.multiply.com/reviews/item/31, di sunting pada bulan Juli, tgl. 10

Read more.....

Makiyyah dan Madaniyyah


Makiyyah dan Madaniyyah

PENDAHULUAN
Semua bangsa berusaha keras untuk malestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga umat Islam amat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan pendapat respon manusia; tetapi, di atas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati.
Kita telah mengetahui bahwa al-Quran sampai kepada umat Islam dan pertama kali diterima oleh Muhammad SAW melalui proses nuzul. Namun perlu dicatat bahwa ayat-ayat tersebut dinuzulkan ada di wilayah Mekkah dan sekitarnya, baik sebelum atau sesudah hijrah, di wilayah Madinah dan sekitarnya, dalam perjalanan, di waktu pagi, siang bahkan malam. Untuk mengetahui ayat-ayat tersebut, maka salah satu ilmu yang berhubungan dengan masalah ini perlu diketahui, yakni Ilmu al-makki wa al-madani.
Dan adapun pembahasan secara rinci mengenai al-makki wa al-madani akan kami bahas dalam makalah yang kami buat ini, baik itu menyangkut tentang apa itu makkiyah dan madaniyyah, ciri-ciri yang spesifik makkiyah dan madaniyyah, serta faedah atau manfaat bagi kita dalam mempelajari ilmu al-makki wa al-madani.















MAKIYYAH DAN MADANIYYAH

A. PENGERTIAN
Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi Makiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif itu adalah masa turun (zaman an-nuzul), tempat turun (makan an-nuzul), objek pembicaraan (mukhatab), dan tema pembicaraan (maudu).
a. Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut.
“Makiyyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah. Madaniyyah adalah ayat-ayat yang di turunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah.”
Dengan demikian, surat an-Nisa ( 4 : 58 ) termasuk kategori Madaniyyah, walaupun diturunkan di Mekkah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota Mekkah (fath al-makkah). Begitu pula pada surat al-Ma’idah ayat 3 termasuk kategori madaniyyah kendati pun tidak diturunkan di Madinah, karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada.
Bunyi ayatnya :
•           ••     •      •     
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. QS. an-Nisa ( 4 : 81 )
Begitu pula surat Al-Ma’idah ( 5 : 3 ) termasuk kategori Madaniyyah walaupun tidak diturunkan di Madinah, karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada.
Bunyi ayat nya :
                    •    
Artinya : pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksakarena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. al-Ma’idah ( 5 : 3 )
b. Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas sebagai berikut.
“Makiyyah ialah ayat-ayat yang di turunkan di Makkah dan sekitarnya seperti Mina, dan Hudaibiyyah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di Madinnah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sul’a”
Pendefinisian di atas memiliki kelemahan sebab terdapat ayat tertentu yang tidak di turunkan di Makkah, Madinah, dan Sekitarnya. Umpamanya surat At-Taubah [9]:42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43] :45 diturunkan di Bait Al-Muqadas dan surat Al-Fath [48] diturunkan di tengah perjalanan antara Mekkah dan Madinah. Jika melihat definisi kedua, ketiga ayat di atas, tidak dapat di kategorikan ke dalam Makiyyah dan Madaniyyah.
c. Dari perspektif obyek pembicaraan, mereka mendefinisikan dua terminologi di atas sebagai berikut :
“Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab bagi orang-orang Mekah, sedangkan madaniyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab bagi orang-orang Madinah“.
Pendefinisian diatas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa setiap ayat-ayat Al-Quran di mulai dengan redaksi atau ungkapan Yaa ayyuha an-nas ( wahai sekalian manusia ) dikategorikan makkiyah, karena pada masa itu umunya penduduk Mekkah masih kufur, kendati seruan ini berlaku juga bagi penduduk selain Mekkah. Dan ungkapan ya ayuha al-ladzina ( wahai orang-orang yang beriman ) dikategorikan madaniyah, karena penduduk Madinah ketika itu telah tumbuh benih-benih keimanan dalam hati mereka, kendati seruan itu sebenarnya berlaku juga untuk penduduk selain mereka.
Namun, tidak selamanya asumsi ini benar ada juga beberapa kelemahan, Misalnya surat Al-Baqarah termasuk kategori madaniyyah padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat yaitu ayat ke 21 dan ayat ke 168 yang di mulai dengan ungkapan Ya ayuha an-nas.
Bunyi surat nya yaitu :
 ••          
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. QS Al-Baqarah ( 2 : 21 )
Kemudian dalam ayat 168 yang berbunyi :
 ••                
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. QS. Al-Baqarah ( 2 : 168 )
d. Adapun pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif tema pembicraan akan di singgung lebih rinci dalam uraian karakteristik kedua klasifikasi tersebut. Kendatipun mengunggulkan pendefinisian Makiyyah dan Madaniyyah dari perspektif masa turun, Subhi Shalih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian diatas. Pada tiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lanjut dari tesis Shali dapat dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah[60]. Bila dilihat dari perspektif tempat turun, surat itu termasuk madaniyyah karena diturunkan sesudah terjadinya peristiwa hijrah. Akan tetapi, dalam perspektif objek pembicaraan, surat itu termasuk Makiyyah karena menjadi kitab bagi orang-orang mekkah. Oelh karena itu, para sarjana muslim memasukan surat itu kedalam Manzila bi al-Madinah wa hukmuhu Makki (ayat-ayat yang diturunkan di Madinah, sedangkan muatan hukumnya termasuk ayat-ayat yang diturunkan di Makkah).
a. Perhatian para ulama terhadap surah makki dan madani
Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah makki dan madani. Mereka meneliti Quran ayat demi ayat dan surah demi surah untuk ditertibkan sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat dalam memberikan gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu makki dan madani.
Para ulama sangat memperhatikan Al-Quran dengan cermat. Mereka menertibkan surah demi surah sesuai dengan tempat turunnya. Dan bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang turun pada malam hari dengan yang diturunkan pada siang hari, antara yang diturunkan dimusim panas dengan yang diturunkan pada musim dingin, dan antara yang diturunkan pada waktu sedang berada di rumah dengan yang diturunkan pada saat bepergian.
Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini ialah : 1) yang diturunkan di mekah, 2) yang diturunkan di Madinah, 3) yang diperselisihkan, 4) ayat-ayat makkiyah dalam surah Madaniyyah, 5) ayat-ayat Madaniyyah dalam surat makkiyah, 6) yang turunkan di Mekkah sedang hukumnya madani, 7) yang turunkan di Madinah sedang hukumnya makki, 8) yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok madani, 9) yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok makki, 10) yang dibawa dari Mekkah ke Madinah, 11) yang dibawa dari Madinah ke Mekkah, 12) yang turun di waktu malam yang turun di waktu siang, 13) yang turun di musim panas dan di mmusim dingin, 14) yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah macam-macam ilmu Al-Quran yang pokok, berkisar di sekitar makki dan madani, oleh karenanya dinamakan “ ilmu makki dan madani. “
b. Beberapa contoh
1, 2, 3. pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah makkiyah dan Madaniyyah ialah bahwa Madaniyyah ada dua puluh surah : 1) Al-Baqarah, 2) ali-imran, 3) an-nisa, 4) al-anfal, 5) al-ma’idah, 6) at-taubah, 7) an-nur, 8) al-ahzab, 9) muhammad, 10) al-fath, 11) al-hujarat, 12) al-hadid, 13) al-mujadalah, 14) al-hasyr, 15) al-mumtahanah, 16) al-jumu’ah, 17) al-munafiqun, 18) at-talaq, 19) at-tahrim, dan 20) an-nasr.
Sedang yang diperselisihkan ada dua belas surah, yaitu : 1) al-fatihah, 2) ar-ra’du, 3) ar-rahman, 4) as-saff, 5) at-tagabun, 6) at-Tathfif, 7) al-qadar, 8) al-bayyinah, 9) az-zalzalah, 10) al-ikhlas, 11) al-falaq, dan 12) an-nas. Selain yang disebutkan di atas adalah makki, yaitu delapan puluh dua surah. Maka jumlah keseluruhan quran itu semuanya seratus empat belas surah.
4. ayat-ayat makkiah dalam surah-surah Madaniyyah. Dengan menamakan sebuah surah itu makkiah atau Madaniyyah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya makkiah atau Madaniyyah, sebab di dalam surah makkiah terkadang terdapat ayat-ayat Madaniyyah, begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, penamaan surah itu makkiah atau Madaniyyah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung didalamnya.
Di antara sekian contoh ayat-ayat makkiah dalam surah Madaniyyah ialah surah al-anfal itu Madaniyyah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat :
                  
Artinya : dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya. QS. Al-anfal ( 8 : 30 ).
Mengenai ayat ini mereka mengatakan “ ayat ini diturunkan di Mekkah, dan pada lahirnya memang demikian, sebab ia mengandung apa yang dilakukan orang musyrik di darun nadwah ketika mereka merencanakan tipu daya terhadap rasullulah sebelum hijrah.
5. ayat-ayat Madaniyyah dalam surah makkiah. Misalnya surah al-an’am, yaitu ayat :
                            •         •                                                      •    •               
Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu ) dan penuhilah janji Allah. Dan yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. 153. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa . QS al-an’am ( 6 : 151-153 )
Ibn abbas berkata : “surah ini diturunkan sekaligus di Mekkah, maka ia makkiah, kecuali tiga ayat diturunkan di Madinah, yaitu ayat yang di atas.
6. ayat yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya madani. Mereka memberi contoh dengan firman Allah SWT :
 ••           •      •    
Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Al-Hujarat ( 49 : 13 ).
Ayat ini diturunkan di Mekkah pada hari penaklukan kota Mekkah, tapi sebenarnya Madaniyyah karena di turunkan sesudah hijrah, di samping itu seruannya bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan makki dan tidak juga dinamakan madani secara pasti. Tetapi mereka mengatakan “ ayat yang diturunkan di Mekkah sedang hukumnya madani.
7. ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya makki. Mereka memberi contoh dengan surah Al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik di Mekkah.
8. ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam madani. Yang dimaksud oleh para ulama ialah ayat-ayat yang dalam surah Madaniyyah tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah makkiah. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surah al-anfal yang Madaniyyah :
       •            
Artinya : dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, Dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah Kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada Kami azab yang pedih. QS. Al-Anfal ( 8 : 32 ).
Ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab itu adalah di Mekkah.
9. Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam makki. Mereka memberi contoh dalam firman Allah SWT dalam surah an-najm :
    •    •              •   •         • 
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. QS. An-najm ( 53 : 32 ).
As-suyuti mengatakan : “perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sanksinya. Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan kesalahan kecil ialah apa yang terdapat di antara kedua batas dosa-dosa di atas. Sedang di Mekkah belum ada sanksi dan yang serupa dengannya.
10. ayat yang dibawa dari Mekkah ke Madinah. Contohnya ialah surah al-a’la. Diriwayatkan oleh bukhari dari al-barra bin azib yang mengatakan : “orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat Nabi adalah mus’ab bin ‘umair dan ibn ummi maktum. Keduanya membacakan quran pada kami. Sesudah itu datanglah keduanya ‘amar, bilal dan sa’d, baru setelah itu umar bin khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu Nabi. Aku melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacakan sabihisma rabbikal a’la. Pengertian ini cocok dengan quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum anshar.
11. yang dibawa dari medinah ke Mekkah. Contohnya ialah awal surah al-bara’ah, yaitu ketika rasullulah memerintahkan Abu Bakr untuk berhaji pada tahun yang kesembilan. Ketika awal surah al-bara’ah turun, rasullulah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakr, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakr membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
12. ayat yang turun pada malam hari dan pada siang hari. Kebanyakan ayat Al-Quran itu turun pada waktu siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari Abul Qasim al-hasan bin muhammad telah menelitinya. Dia memberikan contoh, di antaranya bagian-bagian akhir surah ali-imran.
Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukan waktu shalat subuh, tetapi ia melihat Nabi sedang menangis. Ia bertanya : “rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis ?” Nabi menjawab : bagaimana saya tidak menangis padahal tadi malam diturunkan kepadaku :
       •    

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. QS. Ali-imron ( 3 : 190 ).

Contoh lain ialah awal surah Al-Fath. Terdapat dalam shahih khari, dari hadis umar :
     

Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. QS. Al-Fath ( 48 : 1 )


13. yang turun di musim panas dan musim dingin. Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat di akhir surat an-Nisa. Dalam sahih muslim, dari Umar, dikemukakan :
“Tidak ada yang sering ku tanyakan kepada rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku tentang kalalah. Dan iapun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal kalalah ini, sampai-sampai dia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata: Umar, belum cukupkah bagimu satu ayat yangdi turunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surat an-nisa :

      


Artinnya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah…….. QS. An-nisa ( 4 : 176 )

Contoh lain ialah ayat-ayat yang turun dalam perang tabuk. Perang tabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam al-qur’an :

                      •       

Artinya : orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui. QS. At-taubah ( 9 : 81 )

Sedang untuk yang turun di musim dingin mereka contohkan dengan ayat-ayat mengenai tuduhan bohong yang terdapat dalam surat an-Nur :
•                    •            
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. QS an-Nur ( 24 : 11 )

Dalam hadis sahih dari Aisyah disebutkan :
“Ayat-ayat itu turun pada hari yang dingin”. Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai perang khandaq, dari surat al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’ ilun Nubuwah, dari Huzaifah mengatakan:
“Orang-orang meninggalkan rasulullah pada malam peristiwa ahzab, kecuali 12 orang lelaki. Lalu rasulullah dating kepadaku dan berkata : “Bangkit dan berangkatlah ke medan perang ahzab” aku menjawab : “Ya rasulullah, demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu, sebab hari dingin sekali”. Lalu turun wahyu Allah swt :

                •  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya . dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan. QS al-Ahzab ( 33 : 9 ).

14. yang turun di waktu menetap dan yang turun di dalam perjalanan. Kebayakan dari Al-Quran itu di waktu menetap. Tetapi, peri kehidupan Rasulullah penuh dengan jihad dan peperangan di jalan Allah SWT, sehingga wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Suyuti menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan. Di antaranya adalah awal surat al-anfal yang turun di badar setelah selesaia perang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad melalui sa’d bin abi waqash. Dan ayat :

   •       ••                   

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. QS. At-taubah ( 9 : 34 ).

Diriwayatkan oleh Ahmad melalui sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam suatu perjalanan. Juga awal surat Al-Hajj. Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan melalui Imran bin Hasain yang mengatakan : “ketika turun kepada Nabi ayat :
 ••         
             ••         

Artinya : Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). 2. (ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia dalam Keadaan mabuk, Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya. QS. Al-Hajj ( 22 : 1-2 )

Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dalam perjalanan. Begitu juga surat Al-Fath. Diriwayatka oleh Hakim dan yang lain, melalui Al-miswar bin makhramah dan marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata : “surat Al-Fath dari awal sampai akhir turun diantara Makkah dan Madinah mengenai soal hudaibiyah”.
B. CARA-CARA MENGETAHUI MAKKIYAH DAN MADANIYYAH SERTA FAEDAHNYA
a. Cara mengetahui Makkiyyah dan madaniyyah
Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani, para ulama bersandar pada dua cara.
1. Sima’i naqli ( pendengaran seperti apa adanya atau pedekatan periwayatan)
Pendekatan ini merujuk pada riwayat shahih yang berasal dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu, atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses pewahyuan Al-Quran, termasuk di dalamnya adalah informasi kronolgis Al-Quran. Sebagian besar penentuan makki dan madani didasarkan pada cara pertama ini. Dan contoh-contoh di atas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tenteng penentuan tersebut telah memenuhi standar kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, kitab-kitab asbab an-nuzul dan pembahasan mengenai ilmu Al-quran. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikitpun keterangan dari rasullulah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan yang mansukh.
2. Qiyasi ijtihadi ( pendekatan analogi atau hasil ijtihad kias )
Cara Qiyasi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apabila dalam surah maki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani, maka dikatakan bahwa itu ayat madani. Dan apabila dalam surah madani terdapat terdapat suatu ayat yang mangandung sifat makki, maka ayat tadi bisa dikatakan ayat makki. Bila dalam surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Begitu juga sebaliknya. Inilah yang disebut Qiyasi ijtihadi. Oleh karena itu para ahli mengatakan : “ setiap surah yang didalamnya mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu, maka surah itu adalah makki. Dan setiap surah yang didalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah madani.

b. Faedah mengetahui Makki dan Madani
Pengetahuan tentang Makki dan Madani banyak faedahnya, diantaranya:
a. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontraditif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
b. Meresapi gaya bahasa Al-qur’an dan manfaatnya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam Al-qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
c. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Quran, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode mekah maupun periode Madinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan, Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah saw.
C. CIRI-CIRI KHAS MAKKI DAN MADANI
Para ulama telah meneliti suruh-surah Makki dan Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

a. Ketentuan Makki dan ciri Khas temanya
1. Setiap surat yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surat itu Makki
2. Setiap surat yang mengandung lafal kalla, berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh kali dalam lima belas surat.
3. Setiap surat yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal ladzina amanu, berati Makki, kecuali surat al-Hajj yang pada akhir surat terdapat ya ayyuhal ladzina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makki, kecuali surat al-Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lainnya, adalah Makki, kecuali surat Baqarah dan Ali-Imran. Sedang surat Ra’d masih diperselisihkan.
Ini adalah sari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, sirga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pertanyaannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surat-surat yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
b. Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.
2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-Ankabut adalah Makki.
3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah Madani.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut :
1. Menjelaskan Ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah permusuhan mereka tehadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Orang yang membaca al-Quran akan melihat bahwa ayat-ayat makkiyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat madaniyyah, baik dalam irama maupun maknanya. Pada zaman jahiliyah masyarakat dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir. Dan mereka mengatakan :
  •     
Artinya : Apakah apabila Kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, Apakah benar-benar Kami akan dibangkitkan ( kembali ) ?. QS. As-Saffat ( 37 : 16 ).
                       
Artinya : dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa. QS. al-Jatsiah ( 45 : 24 )
Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas, dan retorika yang luar biasa, sehingga wahyu makki yang diturunkan di mekkah juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberikan tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kembali kepada agama tauhid. Dengan demikian, tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi ditantang agar membuat seperti apa yang ada dalam Al-Quran dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.
Demikianlah akan kita lihat Quran surat makkiah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya sangat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam surat Qori’ah, Ghasiyah, dan Waqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyah pada permulaan surat dan ayat-ayat berisi tantangan didalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi cirri-ciri Al-Quran surat makkiah.
Setelah terbentuk jama’ah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasulnya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya serta akidahnya telah diuji dengan berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata data bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi. Maka disaat itu kita melihat ayat-ayat madaniah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum islam serta ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundangan, meletakan kaida-kaidah kemasyrakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar bangsa. Juga menyingkapkan aib isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Quran yang madani.

D. KLASIFIKASI AYAT DAN SURAT AL-QUR’AN
Menurut edisi standar mesir, 86 surat termasuk dalam periode Mekkah, sedangkan 28 surat lainnya berasal dari periode Madinah. Dasar determinasi kronologis ini adalah permulaan surat. Sebuah surat, misalnya dianggap dari Mekkah jika ayat awalnya diturunkan di Mekkah, meskipun berisi juga ayat-ayat yang diturunkan di Madinah. Terkadang ada juga perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin mengenai apakah surat ini termasuk Makiyyah dan Madaniyyah. Tidaklah mengejutkan jika prinsip klasifikasi yang diterapkan kaum muslimin dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Perbedaan kesimpulan ini lebih besar ditemukan jika dibandingkan dengan yang disimpulkan oleh para sarjana barat.
Dalam pandangan para sarjana muslim, pijakan pertama untuk mengklasifikasikan bagian ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadis dan pernyataan-pernyataan para mufasir yang belakangan. Meskipun nampak memberi perhatian kepada bukti-bukti internal, para sarjana muslim yang mula-mula jarang menggunakannya secara eksplisit dalam argumentasi-argumentasinya.
Sebuah contoh tentang susunan kronologi revelasi (pewahyuan) al-qur’an adalah yang ditulis seorang sarjana klasik dari Ibn Nazhim dalam Al-Fihrits. Di dalamnya terdapat klasifikasi penentuan surat-surat Makiyyah dari Nu’man Ibn Bashir :
1. Surat Al 'Alaq (96) 42. Surat An-Naml (27)
2. Surat Al-Qalam (68) 43. Surat Al-Isra’ (17)
3. Surat Al-Muzammil (73) 44. Surat Hud (11)
4. Surat Al-Mudatsir (74) 45. Surat Ar-Ra’d (13)
5. Surat Al-Lahab (111) 46. Surat Yunus (10)
6. Surat Al-Takwir (81) 47. Surat Al-Hijr (15)
7. Surat Al-Insyirah (94) 48. Surat Ash-shaffat (37)
8. Surat ‘Ashr (103) 49. Surat Luqman (31)
9. Surat Al-Fajr (89) 50. Surat Al-Mu’minun (23)
10. Surat Ad-Duha (93) 51. Surat Saba’ (34)
11. Surat Al-Lail (92) 52. Surat Al-Anbiya’ (21)
12. Surat Al’Adiyah (100) 53. Surat Az-zumar (39)
13. Surat Al-Kautsar (108) 54. Surat Al-Mu’min (40)
14. Surat At-takwir (102) 55. Surat Fushilat (41)
15. Surat Al-ma’un (107) 56. Surat Muhammad (47)
16. Surat Al-kafirun (109) 57. Surat Az-Zukhruf (43)
17. Surat Al-Fil (105) 58. Surat Ad-Dukhan (44)
18. Surat Al-Ikhlas (112) 59. Surat Al-jatsiyah (45)
19. Surat Al-falaq (113) 60. Surat Al-ahqaf (46)
20. Surat An-Nas (114) 61. Surat Adz Dzariyyat (51)
21. Surat An-Najm (53) 62. Surat Al-Ghasiyyah (88)
22. Surat ‘Abasa (80) 63. Surat Al-Kahfi (18)
23. Surat Al-Qadar (97) 64. Surat Al-An’am (6)
24. Surat Ath-thariq (85) 65. Surat Al-Nahl (16)
25. Surat Ath Thin (95) 66. Surat Nuh (71)
25. Surat Al-Quraisy (106) 67. Surat Ibrahim (14)
27. Surat Al-Qari’ah (101) 68. Surat As-Sajdah (32)
28. Surat Al-Qiyamah (75) 69. Surat Ath-Thur (52)
29. Surat Al-Humajah (104) 70. Surat Al-Mulk (67)
30. Surat Al-Mursalat (77) 71. Surat Al-Haqqah (69)
31. Surat Al-Balad (90) 72. Surat Al-Ma’arij (70)
32. Surat Ar-rahman (55) 73. Surat An-Naba (78)
33. Surat Al-Jin (72) 74. Surat An-Nazi’at (79)
34. Surat Yaa siin (36) 75. Surat Al-Infithar (82)
35. Surat Al-A’raf (7) 76. Surat Al-Insyiqaq (84)
36. Surat Al-Furqan (25) 77. Surat Ar-Rum (30)
37. Surat Fathir (35) 78. Surat Al-Ankabut (29)
38. Surat Maryam (19) 79. Surat Al-Muthaffifin (83)
39. Surat Thaha (20) 80. Surat Al-Qamar (54)
40. Surat Al-Waqiah (56) 81. Surat Ath-Thariq (86)
41. Surat Asy syura (26)
Para sarjana muslim menerima secara umum bahwa ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dapat saja merupakan bagian surat yang dirancang sebagai surat makiyyah (menurut prinsip permulaan di atas), atau sebaliknya.
Contoh lainnya adalah kronologi revalasi yang ditulis Abu Al-Qasim An-Naisaburi yang mengikuti sistem penanggalan Al-qur’an berdasarkan sejarah dan masa turunnya (manhaj tarikhy zamany). Ia membagi kronologi Al-qur’an ke dalam tiga tahap.
a. Fase-fase dari surat-surat makkiyah
Pertama, tahap permulaan (marhalah ibtidaiyah): Pada fase ini, surat-surat Al-Quran yang telah disepakati dinuzulkan di mekkah diantaranya :
1. Surat Al 'Alaq (96) 6. Surat Al-Insyirah (94)
2. Surat Al-Lail (92) 7. Surat Al-Adiyah (100)
3. Surat Al-Takwir (81) 8. Surat At-Takwir (102)
4. Surat Al-A’la (87) 9. Surat An-Najm (53)
5. Surat Al-Mudatsir (74)
Kedua, tahap pertengahan (marhalah mutwasithah). Di antara surat-surat yang turun dalam tahap pertengahan Mekkah adalah :
1. Surat ‘Abasa (80) 5. Surat Al-Mursalat (77)
2. Surat Ath Thin (95) 6. Surat Al-Balad (90)
3. Surat Al-Qari’ah (101) 7. Surat Al-Hijr (15)
4. Surat Al-Qiyamah (75)
Ketiga, tahap akhir (marhalah khatamiyah). Di antara surat-surat yang turun dalam tahap akhir di Mekkah adalah :
1. Surat Ash-Shaffat (37) 5. Surat Al-Kahfi (18)
2. Surat Az-Zukhruf (43) 6. Surat Ibrahim (14)
3. Surat Ad-Dukhan (44) 7. Surat As-Sjadah (32)
4. Surat Adz-Dzariyyat (51)

b. Fase-fase dari surat-surat madaniyyah
Fase awal ( al-Marhalah al-Ibtidaiyah ), surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat : al-Baqarah, al-Anfal, Ali-Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, an-Nisa, dan surah al-Hadid.
Fase pertengahan ( al-Marhalah al-Mutawasithah ), pada fase ini surat yang dinuzulkan adalah surat : Muhammad, at-Thalaq, al-Hasyr, an-Nur, al-Munafiqun, al-Mujadalah, dan surat al-Hujarat.
Fase akhir ( al-Marhalah al-khitamiyah ), surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat : at-tahrim, al-Jum’ah, al-Ma’idah, at-Taubah, dan surat an-Nashr.

Sistem penanggalan Makiyyah dan Madaniyyah yang telah dikemukakan sejauh ini, seperti terlihat diatas, didasarkan pada tiga asumsi: Pertama: surat-surat Al-Qran yang ada sekarang ini merupakan unit-unit wahyu orsinil. Kedua, memungkinan untuk menetapkan tatanan kronologisnya. Ketiga, bahan-bahan tradisional termasuk literatur hadis, sirah (sejarah), asban an-nuzul, nasikh-mansukh, serta kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur telah menyediakan suatu bisnis yang kokoh untuk penanggalan surat-surat AL-qur’an. Namun, asumsi-asumsi ini memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Lebih jauh, sistem periodisasi Makiyyah dan Madaniyyah juga tidak memadai sebagai basis kajian-kajian tematis kronologis Al-Qur’an yang lebih menitik beratkan sistem penaggalannya pada perkembangan atau peralihan tema dan bagian-bagian individual sebagai unit wahyu orsinil.



A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam mendefinisikan terminologi makkiyah dan madaniyyah para sarjana muslim mengemukakan tiga perspektif atau gembaran diantaranya adalah, masa turun ( zaman an-Nuzul ), tempat turun ( makan an-Nuzul ), dan obyek pembicaraan ( mukhatab ). Namun dalam pendefinisian di atas masing-masing memiliki kelemahan, contoh dalam pendefinisian tempat turun, tidak semua ayat makkiyah itu diturunkan di makkah atau ayat-ayat madaniyah di turunkan di madinah, sebab terdapat ayat tertentu yang tidak di turunkan di Makkah, Madinah, dan Sekitarnya.
Dan dalam menentukan atau mengetahui makki maupun madani, para ulama bersandar pada dua cara, yaitu :
 Sima’i naqli ( pendengaran seperti apa adanya atau pedekatan periwayatan)
 Qiyasi ijtihadi ( pendekatan analogi atau hasil ijtihad kias )
Sedangkan dalam ciri-ciri makki maupun madani adalah sebagai berikut:
Ciri-ciri surat Makkiyyah
 Di dalam suratnya mengandung “sajdah”
 Setiap surat yang mengandung lafal kalla, berarti Makki.
 Diawali dengan ungkapan ya ayyuhan nas, kecuali surat al-Hajj
 Mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu
 Setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lainnya.
Ciri-ciri surat Madaniyyah
 Suratnya berisi tentang kewajiban atau had (sanksi)
 Dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madani, kecuali surah al-Ankabut adalah Makki.
 Di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab
 Diawali dengan ya ayyuhal ladzina.
Manfaatnya kita mempelajari tentang surat-surat Makkiyyah atau Madaniyyah salah satunya yaitu agar kita lebih mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Quran, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode mekah maupun periode Madinah.

DAFTAR PUSTAKA

 Anwar, Rosihon, 2000, Ulumul Quran, CV Pustaka Setia : Bandung.
 Manna Khalil al Qatthan,1987, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an I, Rineka cipta ; Jakarta.
 Manna Khalil al Qatthan, 2007, Studi ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Setia : Bandung.
 Supiana, dkk, 2002, Ulumul Quran dan pengenalan metodologi tafsir, Pustaka Islamika : Bandung


Read more.....
 
dani's blog © 2008