01 Mei 2009

Fiqih Mawaris


Pengertian

Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam dikenal adanya ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya.
Istilah fiqh mawaris dimaksudkan ilmu fiqh yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, dan siapa yang tidak berhak menerima serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqh mawaris disebut juga ilmu faraidh bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci didalam Al-Quran.
Secara terminologis, fiqh mawaris adalah fiqh atau ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al Syarbiny dalam kitab mugni al muhtaz juz 3 mengatakan bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warian, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib ditrema dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak” Dalam pada itu Prof. Hasby al Sidiqy mendefinisikan fiqh mawaris adalah “ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima ahli waris dan cara-cara pembagiannya”.

B. Hukum Mempelajari Dan Mengajarkan Ilmu Mawaris.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah ini sejalan dengan perintah Rasulullah saw mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sebagaimana mempalajari dan mengajarkan Al-Quran, artinya pelajarilah oleh kalian Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. HR. Ahmad, An nasai, dan Daruqudhni. Hadist diatas menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar didalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam Al Qur’an.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, memepelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pimpinan, terutama pimpinan agama.

C. Ruang Lingkup
Dalam konteks yang lebih umum warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.

D. Sumber-Sumber Hukum Waris
1. Al-Quran
                              •                       •                       •     
                                                                      •                             
         •           

11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.


2. Hadist
1. Riwayat imam al-bukhari dan imam muslim
قَالَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَحِقُّوْ الفَرَائِضُ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه)
Nabi Muhammad Saw bersabda,“berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama.” (HR bukhari dan muslim).
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak brhak mewarisi orang muslim” ( HR. bukhari muslim )

1. Ijma’
Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat dalam alquran dan sunnah sesuai dengan ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat karena telah diterima secara sepakat maka tak ada alasan unuk menolaknya.

2. ijtihad
pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian dan pembagian warisan. Yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam menerapkan hukum ( tatbiqi ), bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, misalnya : bagaimana apabila pembagian warisan terjadi kekurangan harta diselesaikan dengan cara ‘aul atau lain-lain.

E. Hukum Membagikan Harta Warisan Sesuai Ketentuan Syariat Islam.
Al-quran telah menerangkan hukum-hukum mawaris, keadaan-keadaan masing-masing waris dan yang bukan dengan cukup sempurna. Hanya sedikit saja dari hukum mawaris yang ditetapkan dengan sunah, ‘ijma dan ijtihad sahabat.
Sungguh tidak ada dalam syariat Islam hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-quran sebagaimana hukum mawaris ini. Hal ini dilakukan karena pusaka ini wasilah yang paling besar pengaruhnya dalam memiliki harta dan memindahkannya dari seseorang kepada yang lain.
Bagi umat Islam melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh nash-nash yang sharih adalah keharusan. Oleh sebab itu, pelaksanaan waris berdasarkan hukum waris Islam adalah wajib. Kewajiban itu dapat pula dilihat dari sabda Rasulullah Saw sebagai berikut.
“Bagilah harta pusaka diantara ahli-ahli waris menurut kitabulah” ( HR. Muslim dan abu dawud )

Kesimpulan
Dalam istilah sehari-hari fiqh mawaris disebut dengan hukum warisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh mawaris. Bedanya fiqh mawaris menunjukan identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, biasa mencakup hukum waris adat, atau hukum waris yang diatur dalam KUHP Perdata.
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektive tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dengan baik.
Untuk itu sangat diperlukan adanya orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya kepada masyarakat dan selanjutnya masyarakat dapat merealisasikannya didalam pembagian warisan.

Daftar Pustaka
1. Ash shiddiqi, teuku Muhammad hasbi. 1997. Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra
2. Rofiq, Ahmad. 1995. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. rajaGrafindo Persada
3. Salman, otjie Dkk. 2001. Hukum Waris Islam. Bandung : Refika

Read more.....
 
dani's blog © 2008